Puisi Cinta SAJAK TERAKHIR ( GADIS BERJILBAB BIRU ITU BERNAMA ANRIA )

ingin kulangkahkan kaki ini ke dalam pekarangannya dan mengucapkan assalamu’alaikum,
dalam teriknya matahari ini telah membakar hatiku, tergulung dalam asap hingga lantakan jiwa,
meski ribuan butir tashbih telah kumainkan di tanganku pada roda roda malam, namun tak ada kesempurnaan manakala rusukku belum tiba,
Duhai gadisku betapa bahagia hati ini tatkala merintihkan pintaku padaNYA agar Dia mendengar sebuah nyanyian dari mulut tulusku,
dan ketika cinta memangil ku,
datang ke dalam jiwaku sepertinya ku terbang di langitMU,
tengelam di lautan cintamu,
berpadu kalbu dalam rindu melebur menjadi satu bagai beryanyi di iringi pelangi
lalu teriring dalam mustajabah ini ada rasa dalam campur hatiku,
entah aku bagaimana melukiskanya karena diantara
kesedihan,kekecewaan,penyesalan,penderitaan,kebahagiaan,keindahan,kekaguman,keterpesonaan yang dalam
sungguh demi Dia yang jiwaku ada di tanganNYA,
ingatkah engkau tentang sebuah surat QS. an-nur:35
aku ingin mendapatkan minyak zaitun dalam surat itu bersama engkau gadis.
tahukah kau dengan sorak lantang hatiku mngabarkan pada jiwaku sendiri,
bahwa jiwaku terbalut oleh cintamu, atasNYA,
sehingga ragakupun sudah tak sanggup menompang,
duhai anria aku mencintaimu dengan hatiku,
maka…..ijinkan aku menyentuh dan menciummu sebagaimana para tamu Allah menyentuh Ka’bah dan mencium mushaf al-karim.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

http://www.anggrekbiru.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Seorang Penyair

Apa yang dapat diberikan seorang penyair ?
Saat tak ada sesuatu yang dapat mengilhami
Ketika realita tak cukup untuk menginspirasi
Matikah ia…. bersama syair-syair lama yang t’lah lapuk
dan kehilangan pembaca ?

Apa yang harus dilakukan seorang penyair ?
Saat kosong memenuhi imaji
Saat sendiri juga tak cukup berikan ruang untuk kehadiran satu puisi
Tak pantas lagikah ia… tetap disebut penyair walaupun tak lagi mampu
untuk tetap bersyair ?

Setelah lama tidak menulis satu pun puisi, satu tulisan di atas adalah sebuah curahan hati dari saya tentang keadaan yang terjadi di sekian waktu ini. Oh ya, hari ini saya juga menulis 2 puisi baru dimana salah satunya adalah puisi valentine untuk menyambut hari kasih sayang yang udah semakin dekat ini. Kedua puisi baru tersebut saya letakkan di MunajatCinta.com.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

What is this ?

What you concentrate on largely determines the quality and quantity of the results that you get and the success that you enjoy.
-- Brian Tracy »

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

*PERTEMANAN SEJATI*

engkau selalu ada dikala aku membutuhkanmu
engkau selalu setia ,saat aku dalam kebingungan
kebingungan akan sesuatu yang hilang dalam hatiku
dikala senja telah menyapa ,dikala ruang telah gunda
kau selalu melengkapi!
melengkapi serpihan hati yang sudah sirnah di hempas angin
sahabatku...!!!!!!!!!!
terima kasih atas kesetianmu
terima kasih atas semu ilmu yang kamu berikan
ilmu yang tidak mungkin aku dapatkan ditempat manapun
sahabatku …!!!!!!!!!!!!
kau memberikan semangat yang baru dalam hidupku
engkau memberiku arti, arti dari sebuah ikatan persahabatan
bukan ikatan teman yang kosong belakang
sahabatku
aku berharap padamu,
jangan pernah tinggalkan aku
sendiri menjalani hidup dalam dunia yang panah ini
aku tdk ingin luka yang sudah lama menutup
kembali menganga lagi .

temanku,
sahabat sejatiku!!!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

sAhAbAt yG MeNyAkItKaN HAtI

sEWaKtU HaRi sAhAbAt SaYa daTaNg ke rUmAh sAyA.
dIa mEnGaMbIl hP saYa
DaN TeRUs mElIhAt kOtAk nOmBeR HaNDpOnE SaYa
DaN Dia MeLiHaT No C'wEk Yg bErNaMa fAuZiAH

dIa kEkAsI SayA.


dAn OrAnG ThU BeRtElVoN'An dEnGaN NyA

dAn tErUs aKrAp
DAn sEtErUs'a
SaHaBaT SaYa TaK PeRnA MeZ/vOn sAyA LaGi kEtIkA dIa mEnGaMbIl nO Hp
FaUzIaH
dAn dIa sElaLu pErHaTi'An dENgaN fAuZiAh
AsaL PuLaNg sEKoLa sAhAbAt sAyA LaNgSuNg tElVoNaN Mh DiA..

SAyA SeBaGaI kEkasI'a SaYa sAnGaT CeMbUrU BANgEt.

lIhAt sAhabAt sAyA SaNgAT PeRhAtIaN DeNgAn DiA

SaYa KeCeWa dEnGaN DiA..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Apakah Arti Cinta Menurut Si Dia?

Mengungkapkan rasa suka, dan mengatakan sayang mungkin hal yang mudah bagi wanita. Kita bisa saja mengirimkan sms, menelepon, memberikan kado untuk si dia apabila kita ingin menunjukkan rasa suka. Membuat kue dihiasi dengan tulisan ”I love you” di atasnya. Ah betapa hal manis yang dilakukan wanita.



Namun bukanlah hal yang mudah bagi pria untuk melakukan hal yang sama. Kalaupun ada itu akan sangat jarang kita temui. Pria pada umumnya sulit mengungkapkan rasa sukanya. Sekalipun mereka sadar bahwa mereka menyukai kita. Tidak akan semudah itu bagi mereka mengutarakan cinta. Mengapa demikian? Yuk, sama-sama kita cari tahu jawabannya.



1. “I love you” atau “Aku sayang kamu”



Pria mungkin salah satu makhluk yang sulit mengungkapkan isi hati mereka. Akan lebih mudah bagi mereka menunjukkan dengan bahasa tubuh daripada harus mengatakan secara verbal. Jarang sekali saat Anda kencan dia mengatakan ”Aku sayang kamu”, bukan?



Mungkin bagi si dia akan lebih nyaman apabila ia menggandeng tangan Anda. Atau malah hanya sekedar berdiri di samping Anda. Bagi mereka hal itu sudah menunjukkan rasa sayang. Ketimbang harus berulang kali mengumbar kata-kata cinta.



2. Si dia tak pernah mengatakan ”Aku sayang kamu”



Apabila si dia tidak pernah mengucapkan tiga kata ini, Anda tak perlu khawatir. Bukan berarti dia tak mencintai Anda. Hanya saja, sulit sekali baginya mengatakan kalimat itu.Tak berarti juga dia pria pengecut dan tidak serius.



Baginya kalimat itu adalah suatu komitmen yang lebih dalam dari rasa suka. Akan butuh waktu yang cukup lama bagi mereka untuk mengucapkan kalimat tersebut. Bukan sembarang kalimat yang setiap hari bisa mereka ucapkan dengan mudah. Hal itu menyangkut tanggung jawab yang besar. Sehingga mereka menganggapnya sakral dan tidak mudah diucapkan.



3. Tidak ada penjelasan yang logis tentang cinta



Kebanyakan pria tidak bisa menjelaskan mengapa mereka jatuh cinta kepada Anda. Mungkin memang alasan fisik yang akan digunakan. Namun sebenarnya mereka tak pernah punya alasan yang jelas. Bagi mereka alasan itu sama sekali tidak penting. Mereka hanya ingin menjalani hidup mereka bersama Anda yang dikasihinya.



4. Wanita adalah sosok yang romantis dan emosional



Wanita yang cenderung memiliki sisi lembut dikenal sebagai sosok yang romantis dan emosional. Namun ternyata, pria lebih romantis dan emosional. Coba Anda perhatikan saat si dia menyatakan cintanya pada Anda. Mungkin lewat lagu yang ia nyanyikan, sebuket bunga mungkin, sekotak cokelat, atau rangkaian puisi indah.

Betapa romantis dan emosionalnya seorang pria ketika mereka ingin mengungkapkan rasa cinta mereka. Nikmatilah saat-saat seperti ini. Di sini mereka benar-benar mengungkapkan rasa hati mereka. Dan tidak selalu setiap hari mereka bisa melakukan hal ini. Oleh karena itu, pria adalah makhluk yang paling romantis.



5. Kado Untuk Anda



Si dia mungkin pernah memberi kado untuk Anda. Kalung manis, buku, baju, boneka, patung keramik atau patung yang ia pahat sendiri. Itu adalah tanda betapa berartinya Anda baginya. Si dia menghargai Anda, secara fisik maupun pribadi. Hadiah-hadiah tersebut adalah ungkapan hatinya, bahwa ia serius menjalani hubungan dengan Anda.



6. Cinta atau nafsu?



Pria cenderung bingung dengan perasaannya. Apakah yang ia rasakan cinta atau nafsu. Hal ini wajar, karena sebagian besar otak pria didominasi hormon testosteron. Sehingga mereka tidak bisa berpikir seperti Anda, yang mampu memastikan perasaan cinta Anda. Namun, Anda tidak perlu khawatir. Pria perlu waktu untuk menyadari perasaannya. Begitu sadar, mereka akan memperlakukan Anda lebih dari yang Anda bayangkan (kpl/bee)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

minuman bersoda

http://www.anneahira.com/bahaya-minuman-bersoda.htm

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

listen it !!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tak Pernah Berlalu

Mungkin aku memang lemah
Mungkin aku tak pernah punyai lelah
Saat ku terdiam menangisi pergimu
Terus ku terpaku oleh harapan semu

Sepertinya… t’lah cukup banyak kutulis
T’lah cukup dalam hati ini kuiris
Agar bisa kucoba lagi cinta dari mula
Dengan ia yang mampu merasakannya

Namun cinta untukmu terus bertahan
Di sekeping sisa hati ini pun cinta untukmu kurasakan
Kerinduan hadirmu tak pernah bisa hilang
Oh Tuhan… bagaimana semua ini harus kuartikan ?

Puisi

Aku tak pernah berlari meninggalkanmu !
Melangkah menjauhi pun tak pernah terlintas
Aku masih disini…. Aku masih ada…
Namun sebait pun kini tak sempat lagi kubuat

Setiap hari kuhanya bisa berkata pada hati
Besok mungkin dapat kuluangkan waktu lagi
Tuk menulis tentang hati…
Dalam sebentuk puisi

Nyatanya aku tak pernah sempat
Ragaku s’lalu saja terlebih dahulu penat
Sehingga asa dan rasa tak pernah sempat
Dapatkan waktu yang tepat untuk puisi-puisi baru kubuat

Hingga sekali lagi di pagi ini
Kerinduan pada puisi kembali menjadi
Curahan hatiku dalam sebentuk puisi
Semoga esok aku bisa segera kembali

Bertahan Cz Cinta

Aku mencintaimu kamu dengan sepenuh hatiku,semua pengorbanan cinta telah aku berikan hanya untukmu.

Kau pernah bilang apapun yang terjadi kamu akan selalu cinta,dan sayang padaku.

Tapi mengapa kau berubah,rasa sayang mu seakan pudar,semua cinta dan kasih sayang mu tak seperti dulu.

Janganlah kau buat hati ku ini kecewa karena sikapmu itu,karena hati ini akan sakit bagaikan tertusuk duri.

aku mencintaimu,demi kamu aku akan bertahan,karena hati ini akan selalu ada namamu,yang ku ingin saat ini hanya satu kembalilah kau seperti dulu,seperti saat kita pertama bertemu.

Cerpen

[ Cerpen Deteksi Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008 ]

Oleh Retno Wi

Brakk!!…

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?

Brak!!…

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.

Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”

“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”

“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”

“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….

Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.

Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”

****

Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?

“Lo sendiri?”

“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

“Pulang?”

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

“Trus, tugas statitiskmu?”

“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.

“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”

“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”

“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”

“Maksudnya?”

“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”

“Jadi?”

“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.

Selembar Uang 5000

Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”

Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.

“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.

“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.

“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.

“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.

“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”

* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.

“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.

“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.

Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.

“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.

“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts